Kamis, September 29, 2011

AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU 6 KALI

Oke, dari pada gue bengong dan buka-buka yang ngga jelas mending gue share cerita ini ke kalian semua, ceritanya mengharukan, menyedihkan dan membanggakan, buat gue tapi, hahahahha. Gue juga dapet ni cerita dari blog temen kakak gue, yang istilah jaman sekarang copy paste gitu. Katanya si ini kisah nyata, tapi ngga tau bener engga. Yaudah daripada nanti kebanyakan pembukaanya mending kalian baca sendiri dan silakan diperkirakan kisah nyata atau bukan. Selamat membaca dear .........



Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
----------------

" Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawany. Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, " Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa temanku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah temanku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota . Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai. "

Minggu, September 11, 2011

RESMI MAHASISWI

Yuhuuuuuu, setelah berbulan-bulan saya menunggu ini akhirya besok 12 sept'11 saya resmi KULIAH. Setelah pembujukan yang benar-benar sangat susah dan penuh dengan beberapa janji pada kedua orangtua saya, yang sebenarnya tidak mengizinkan saya untuk kuliah di kampus semua seniman itu, akhirnya kedua orangtua saya luluh dan memberikan izin walau dengan beberapa syarat. Sangat bersyukur sama yang diatas ALLAH SWT karena mengabulkan doa saya. Besok adalah kuliah perdana saya, yang tak tau bagaimana keadaan kampus besok, baikkah, seramkah, atau bagaimana ? hmmmm . . . .. .
Setelah perjuangan panjang untuk masuk kampus ini, dari mulai pendaftaran yang mengeluarkan banyak uang untuk jasa pengiriman, ya. . . . jasa pengiriman alias penggunaan jasa TIKI. Sebenarnya saya bingung atau bagaimanalah keadaanya, saya seperti tidak niat untuk kuliah disana, karena dari mulai pendaftaran sampai dengan daftar ulang yang mengurusnya adalah tante saya adik ibu saya (untung saat test bukan tante juga). Mungkin karena beliau baik hati, jadi beliau mau dan ikhlas membantu saya untuk masuk ke kampus ini. Saya juga bingung kenapa pada akhirnya saya berminat lagi untuk masuk ke kampus ini, setelah kemarin saya harus melupakan untuk masuk kesana, tapi karena mungkin dan mungkin inilah jodoh yang diberikan ALLAH kepada saya, maka dari itu saya harus masuk sana. Dengan diam-diam mencari info di website kampusnya, dan bertanya-tanya kepada seseorang yang kuliah disana akhirnya saya mendapatkan info kapan pendaftaran dibuka dan bla bla bla. . . . . . . .
Setelah mendapatkan infonya dan berunding dengan saudara saya yang penah kuliah disana tapi tidak menamatkan diri alias mundur, akhirnya saya memberanikan diri untuk bicara kepada ayah saya. Dengan hati yang was-was seperti orang yang takut di tolak cintanya saya pun menemui beliau yang saat itu sedang duduk-duduk di teras depan rumah dengan memakai sarung dan kaos dalam saja sambil memegang rokok dengan cerutu yang biasa digunakannya saat merokok, dan di siang yang sangat menyengat itu saya pun akhirnya memberanikan diri. Dengan beberapa pendahuluan terlebih dahulu sambil menyari sela-sela untuk masuk ke topik utama dan setelah lumayan lama, akhirnya saya masuk ke topik utama. Saya pun mulai masuk ke proses pembujukkan, awalnya beliau setuju dan langsung menyuruh saya mengambil ponselnya untuk bertanya ke pihak kampus kapan penutupan pendaftaran terakhir yang sebenarnya saya sudah tau sebelumnya . . .hihihi . . . Saat itu hati saya sangat-sangat bahagia, seperti seorang yang diterima cintanya. Tapi setelah beberapa hari berikutnya beliau tiba-tiba tidak mengizinkan karena faktor tempat yang sangat jauh, faktor lingkungan kampus yang dikenal sangat bebas lah, faktor saya anak bungsu yang tak boleh jauh dari orang tua lah (maybe). Dengan hati yang sangat tercabik-cabik saya pun mengurungkan niat saya untuk masuk kampus ini, dan mulai mencari-cari kemanakah saya harus kuliah? sungguh confuse saat itu. Mungkin hidayah dari ALLAH saya akhirnya meyakinkan kembali ayah saya untuk masuk ke kampus ini. Dan akhirnya beliau setuju dan mengizinkan saya untuk mengikuti test masuknya, ibu saya juga setuju meski sedikit meragukan untuk mengizinkan saya karena saya yang tiap hari tidur dengannya dan takut saya disini menderita. Dan akhirnya saya mempersiapkan apa-apa saja syarat yang harus di berikan kepada pihak kampus untuk mendapatkan nomor peserta, dengan melalui jasa tiki saya mengirimkannya kepada tante saya yang tinggal di bogor karena bila saya harus mendaftarkan sendiri saya harus tinggal lama disana sampai test masuk dan karena saya tidak betah tinggal lama dirumah orang walaupun keluarga akhirnya saya menggunakan cara ini. Dengan beberapa kali saya pergi ke tempat jasa pengiriman itu yang mungkin membuat orang yang bekerja disana bosan melihat wajah saya yang selalu datang datang dan datang, akhirnya sampailah saya di penghujung acara *lah ko acara* lanjuuuuut . . . .. Saya yang dari daerah yang bukan anak pejabat, dan pengusaha terkaya yang tak pernah merasakan holiday yang sesungguhnya*laaaah?*, karena saya hanya anak seorang guru yang lebih mulia dibandingkan pengusaha atau pejabat itu, saya pun tak pernah naik pesawat terbang dan apalah itu orang menyebutnya *hah?* Sebelumnya saya dan saudara saya sudah membuat planing untuk pergi berdua ke ibukota karena dia lebih berpengalaman dari pada saya. Setelah menentukan tanggal dan pemesanan tiket PP pun sudah dibeli, saya akhirnya pergi dari daerah saya menuju provinsi karena di tanah kelahiran saya tidak ada bandara atau airport dan sejenisnya. Namun, ditengah-tengah perjalan saudara saya menelpon ayah saya dan memberitahu bahwa dia tidak bisa ikut karena tanggal saya test bersamaan dengan tanggal dia yudisium yang saya sendiri baru tau artinya itu yang kata ayah saya sidang sebelum wisuda. Akhirnya, dengan berat hati ayah saya membiarkan saya pergi sendiri, dan merelakan uang tiket saudara saya itu lenyap. Diantarlah saya sampai ruang tunggu, karena takut saya sendirian disana dan mungkin bakal tersesat *saya sudah 17 tahun pa* akhirnya ayah saya mencari orang yang satu pesawat dengan saya, setelah lama mencari sambil menunggu keberangkatan saya, tiba-tiba ada seorang wanita yang satu pesawat dengan saya, karena si wanita itu ingin masuk keruang tunggu di dalam saya pun harus berpisah dengan ayah saya, dan disanalah saya merasakan kehilangan dan tau bagaimana rasa berpisah jarak dengan orang tua, *ooohhh menyedihkan*. Karena waktu keberangkatan saya masih 15 menit lagi, dan karena saya juga belum memperkenalkan diri kepada wanita itu akhirnya kita berkenalan satu sama lain, sambil berbincang-bincang tentang segalanya.
Dan tibalah saya di hari penentuan, hari dimana otak saya diajak untuk berfikir lagi, dimana saya akan menemukan sebuah pertanyaan lagi yang setelah sekian lama tidak pernah menjawab sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang unik " MENGAPA ANDA MEMILIH FAK . . . . . . .  JUR . . . .." saya pun menjawab bla bla bla. Ada dua test, satu tertulis dan satu wawancara, setelah test tertulis kita diberi waktu beberapa menit istirahat sebelum wawancara dan di saat itulah saya berkenalan dengan teman-teman baru saya, yang mempunyai beberapa perbedaan dari mulai agama, suku, adat, dan untung tidak bangsa (hahahahha). Setelah semua selesai saya pun berajak menemui tante saya dan pulang ke bogor. Setelah saya rasa semua urusan saya di kota ini sudah selesai saya akhirnya pulang dan meninggalkan kota ini. Dengan rindu yang sangat mendalam pada keluarga saya terutama dengan ibunda saya, dan dalam waktu 45 menit saya akhirnya kembali ke daerah saya bertemu keluarga dan kedua orangtua saya *ahh sangat melegahkan*
Dengan menunggu selama seminggu akhirnya dengan perasaan yang was was dan menunggu telepon dari tante saya yang tidak menelpon-nelpon yang membuat saya bingung di puasa yang mengeruk kerongkongan saya akhirnya ibu saya memberitahu bahwasanya saya LULUS *horaaaaeeeeey*
Akhirnya saya dinyatakan lulus dan harus melaksanakan nazar saya yang saat ini belum terlaksana *maaf ya allah, janji besok-besok* Dan sekarang saya sudah berada di kosan yang cukup nyaman bagi saya karena baru saya tempati kemarin dan belum merasakan sebenarnya. Harapan saya agar saya bisa kuliah tanpa hambatan apapun, semua berjalan lancar, dan bisa mendapatkan nilai di atas 3. Bisa membahagiakan ayahanda dan ibunda saya, saya sangat berharap itu. Semoga ALLAH mendengarkan ini, bantu saya ya ALLAH.

Note : thank's for everything mom and dad, thank's for izin kalian, wait me five years again. Tunggu pembuktian saya ma pa, dan restui saya menjalankan study disini. Help me god